Sabtu, 18 Oktober 2014

Aku Pernah Bermimpi

Aku pernah bermimpi berdiri di belakang meja panjang —berisi deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, poci, dan bush kettle— dengan kedua tangan menari bersama mesin. Memandangi serbuk hitam itu sembari menghirup aroma sedapnya yang menempel di setiap dinding kafe. Aku pernah bermimpi menjadi seorang peramu kopi, sebut saja barista.
K-o-p-i. Sudah ribuan kali aku memikirkan sihir apa yang dimiliki serbuk hitam beraroma sedap itu —yang kerap kali membuatku tergila-gila. Satu kata yang membuatku kalap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat caffe latte, cappuccino, espresso, Russian coffee, irish coffee, macchiato, dan yang lainnya.
Membuka kedai kopi sendiri, aku sudah memikirkannya sejak lama. Namun beberapa pertimbangan kembali menyurutkan niatku. Salah satunya adalah karena restu orangtua —yang satu ini aku tidak mendapatkannya. Kedua orangtuaku beranggapan bahwa seorang wanita sangatlah tidak cocok menjadi barista. Aku benar-benar tidak setuju, memangnya apa masalahnya?
Tapi, kembali lagi, restu orangtua adalah restu Sang Khalik.
Katakan padaku, sekarang aku harus bagaimana?
Aku pernah bermimpi, sebelah tanganku memegang cangkir berisi foam dan tangan yang lainnya menggenggam lengan cangkir berisi kopi. Dan dengan kemampuan juga kelihaian tanganku, menciptakan latte art yang berbeda di setiap cangkirnya. Lihatlah, wahai Ayah, Ibu, seorang barista juga mengenal seni.
Tapi, Ayah, apabila aku ditanya kopi apa yang paling kusuka, maka aku akan langsung menjawab: “Aku menyukai kopi tubruk.”
Dan apabila Ayah menanyaiku ‘mengapa?’ maka akan kujawab sambil tersenyum membayangkan aroma kopi tubruk yang menimbulkan candu untukku: “Sederhana, lugu, tapi memikat. Terutama aromanya.”
Aku pernah membayangkan bagaimana Ayah akan datang ke kedai kopi milikku saat makan siang tiba. Kemudian Ayah akan memintaku untuk meramukan secangkir cappuccino dengan dark rosetta sebagai latte art-nya. Ayah akan menyukainya, bukan?
Dengan dua cangkir kopi yang masing-masing berisi cappuccino dan kopi tubruk, kita akan menyesap kopi bersama-sama, membicarakan tentang hal-hal yang akan menghangatkan suasana sampai sore tiba.
Tahukah Ayah, bahwa ketika kita saling bercerita kita akan semakin dekat? Berawal dari kopi, Ayah. Kopi juga bisa membuat hubungan kita menjadi lebih dekat.
Bukankah itu bagus, Ayah?
Aku pernah bermimpi, ketika Ibu berkumpul bersama teman lama lalu membicarakan tentang anaknya masing-masing. Ketika yang lainnya sibuk memuji anaknya, Ibu akan tersenyum karena mengingatku. Mengingatku yang tersenyum dibalik mesin kopi dan dengan kedua tangan membuat buih yang mengapung di atasnya.
Lalu aku akan berteriak lantang, “Ibu, kopinya sudah siap! Oh, ya, aku membuat bentuk baru hari ini, apakah Ibu ingin melihatnya?”
Kemudian teman-teman Ibu akan bertanya, apakah aku membuat Ibu bangga? Dengan mantap, Ibu akan menjawab, “Dia berbeda dengan caranya —bayangkan, dia adalah seorang barista. Dia mahir meracik kopi, dan aku amat bangga padanya.”
Tahukah Ibu, berbeda itu istimewa? Aku ingin menjadi berbeda dengan caraku, Ibu. Menjadi seorang barista juga bukan hal yang tabu, justru dengan itu aku bisa menjadi istimewa —karena aku berbeda.
Benar, kan, Bu?
Hari itu, aku bermimpi bertemu dengan seorang barista andal bernama Aiden. Dia yang menemukan terobosan baru, menjadikan salah satu kedai kopi di kotaku sebagai magnet baru. Aiden membuatku penasaran, dia benar-benar seperti magnet.
Malam berikutnya, aku bertekad untuk mengunjungi kedai kopi miliknya. Aku ingin berbincang lebih dalam dengannya, mengenai kopi —tentu saja. Sudah kuduga, aku akan kesulitan mencari waktu yang tepat karena Aiden sangat sibuk sepanjang hari.
Akhirnya kami sepakat, pukul sepuluh malam. Itu kali pertamanya aku minum kopi panas dengannya. Dengan Aiden, Si Barista Andal.
Saat aku datang, kafe sudah sepi. Hanya ada dua pelanggan yang masih duduk di kursi masing-masing. Salah seorang di antaranya tampak sedang mengobrol dengan Aiden. Yang kulihat di sini, Aiden adalah orang yang ramah. Aku bersyukur tentang satu hal itu.
Mendengar pertanyaan pelanggan itu, aku tersenyum. Pelanggan itu bertanya, “Apa ciri khas cappuccino?” Jawabannya mudah saja, penampilannya. Meski penampilannya cukup mirip dengan caffe latte, untuk cappuccino memang dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. Mengapa? Karena seorang penikmat cappuccino sejati, akan memerhatikan penampilannya. Apabila tidak terkonsep, bisa memengaruhi suasana hati penikmatnya. Itu opiniku.
Beberapa menit berikutnya, aku sudah duduk dengan kopi panas yang masih mengepul uapnya bersama Aiden. Mataku mengedarkan pandangan, lantai dan dinding kafe tersebut terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar. Di sepanjang dinding kafe ditempeli poster-poster kopi dengan bermacam pose. Puncaknya, sebuah plat besar yang menempel di dekat meja panjang barista, yang berisi tulisan model lama menggunakan Bahasa Belanda:
Adn Koffie
Keningku berkerut samar. Adn?
“Adn. Nama salah satu surga. Selamat datang di surgaku!” Seorang laki-laki berseru. Suara Aiden. Aku menoleh, lalu tersenyum ke arah Aiden. Alunan musik klasik yang menenangkan, dengan kombinasi aroma berbagai macam kopi yang memabukkan. Benar, tempat ini adalah surga bagi para penggila kopi, sepertiku.
Aku lalu bercerita kepadanya, tentang kecintaanku terhadap kopi. Aiden mendengarkanku dengan seksama, sekali-kali dia mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon. Kemudian aku sadar bahwa aku terlalu banyak bercerita ketika aku mulai megap-megap, seperti ikan yang mulai kehabisan napas. Ini gila, aku belum pernah se-antusias ini saat bercerita.
“Oh, ya, satu lagi. Aku benar-benar ingin menjadi seorang barista, Aiden. Ya, sepertimu,” Selanjutnya aku berhenti berbicara, tenggorokanku seperti terlilit sekarang.
Perhatianku teralih pada kopi panas di depanku. Kupejamkan mataku, membiarkan indra perasaku mengambil alih hal ini. Cuping hidungku mengembang, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang mengepul dari cangkirnya. Merasakan aroma khasnya mengontaminasi udara di sekitar hidungku. Ini espresso, aku hafal aromanya.
Aku kembali membuka mata ketika suara Aiden sampai di telingaku. “Kamu bisa menjadi barista, Lillit,” katanya penuh teka-teki. Keningku berlipat, tidak mengerti.
“Ikut aku.” Setelah mengatakan itu, Aiden berjalan meninggalkan kursinya menuju meja panjang di dekat plat besar. Tempat itu nyaris membuatku melompat saking gembiranya. Bayangkan, tempat keramat itu —Meja barista!
Aku memerhatikannya, kedua tangan Aiden yang menari bersama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.
Di tangan kirinya, tergenggam cangkir putih yang sepertiga dari isinya berisi kopi. Aku yakin sekali, Aiden akan membuat latte art, proses yang paling kusuka. Tapi ternyata dugaanku salah, Aiden menyerahkan cangkir itu kepadaku. Aku menatapnya tak mengerti, namun Aiden hanya mengangkat sebelah alisnya.
“Hari ini, aku menantangmu untuk membuat latte art,” katanya.
Mataku berpendar-pendar, seolah sebuah semangat baru telah disuntikkan ke dalam darahku. Aku menerima tantangan itu, setidaknya aku akan membuktikan pada Aiden, aku juga layak menjadi seorang barista.
Otakku kembali memutar kejadian beberapa menit yang lalu, ketika Aiden menonton aksiku membuat latte art. Awalnya aku kebingungan, berhadapan langsung dengan kopi dan foam membuatku sulit berpikir. Yang kupikirkan saat itu hanyalah, bagaimana aku bisa memberikan seni pada kopi yang masih polos itu.
Saat ini, di hadapanku terdapat karya latte art perdanaku. Latte art yang sederhana—berbentuk hati yang apik. Rasanya, aku ingin memuseumkan kopi itu sekarang juga.
Aku masih mengingat betul kata-kata Aiden yang rasanya patut untuk kugarisbawahi. Secara tidak langsung, Aiden telah memberiku semangat saat mengatakannya, “Kamu tahu? Ketika kamu sedang bernyanyi, maka kamu telah menjadi seorang penyanyi. Dan ketika kamu sedang meramu kopi dan membuat latte art di atasnya, kamu telah menjadi seorang barista.”
Kejadian ini seperti menarikku kembali ke realita. Membuatku sadar bahwa ini bukanlah ruang maya, karena semua ini nyata. Aku sedang tidak bermain imajinasi ketika aku berkenalan dengan Aiden, meramu kopi bersamanya, dan membuat latte art saat larut malam—semua ini nyata.
Dia Aiden, orang yang baru saja mengenalku dan percaya dengan mimpiku, mendukungku untuk terus meraih mimpi itu. Menjadi seorang barista, ini yang kuimpikan sejak dulu. Ayah, Ibu, Aiden telah membuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang barista sekalipun aku wanita. Kalau begitu, bukankah dia hebat, Ayah, Ibu? Bukankah Aiden hebat?

0 komentar:

Posting Komentar