Minggu, 19 Oktober 2014

Impian

Mimpi. Apakah kalian tahu apa itu mimpi? bunga tidur. Pasti itu yang terlintas dalam pikiran kalian. Tapi, bukan itu mimpi yang kumaksud. Mimpi atau sering disebut impian. Kalian tahu bukan apa itu impian? impian adalah sesuatu yang teramat ingin kita capai. Apakah kalian mempunyai ssuatu yang teramat ingin dicapai? pasti punya, bukan? begitupun denganku.
Aku, keisya. Impian terbesarku adalah menjadi seorang pelukis yang karyanya dihargai dan bisa membuat orang-orang tersenyum puas saat melihatnya. Aku juga ingin, sangat ingin membuat pameran lukisanku sendiri. Membayangkan betapa bangganya kedua orangtuaku nanti sungguh membuatku tak sabar ingin mewujudkan mimpi itu. aku mendesah pelan, memejamkan kedua mataku, membisikan harapan agar impianku terwujud kepada tuhan. Kubuka mataku kembali lalu menatap ke arah langit biru yang tersenyum cerah seakan-akan menyemangatiku.
“keisya,” kutolehkan kepalaku ke arah samping, kudapati seorang gadis cantik duduk di sampingku entah sejak kapan. Gadis yang sedang tersenyum manis menampakan eyes smile yang dimilikinya.
“fadhia? sejak kapan kamu disini?” tanyaku dengan kening berkerut. Dia masih tersenyum.
“kira-kira 3 menit lebih 45 detik yang lalu,” jawabnya yang kuyakin asal. Ayolah, dia tak mungkin serajin itu menghitung menit juga detiknya.
“aku serius!” diletakannya jari telunjuk dan tengah di samping kepalanya membentuk huruf v. kugelengkan kepalaku melihat kelakuan sahabatku yang agak aneh ini. Kembali aku sibuk dengan kegiatan awalku, menikmati semilir angin yang berhembus nyaman di depan kelasku.
“kekuatan dari sebuah impian, kamu percaya itu kan, dhi?” senyap. Tak ada jawaban dari sahabat teranehku ini. Kumelirik sekilas ke arahnya. bingung. Kesan pertama yang kudapati diwajahnya. Sungguh, wajah bingungnya sangat konyol!
“hmm. Masih bermimpi menjadi pelukis?”
“hey! bukan bermimpi tapi impian!” aku menjitak pelan kepalanya membuat dia meringis dan menampakan mimik tak suka kepadaku.
“hey jangan pukul kepalaku! sakit tahu! lagi pula itu kan sama saja?”
“beda tahu! bermimpi itu hanya disaat kau tak sadar dan tak tahu apa yang sedang kau lakukan sedangkan impian itu adalah sesuatu yang teramat ingin kau capai,”
“ya biasa aja kali gak usah pake jitak-jitak,” aku hanya tersenyum malu seraya menunjukan deretan gigi rapiku kepadanya.
“memangnya kamu benar-benar ingin menjadi pelukis, sya? aslinya? seriusan?”
“fadhia sayang, fadhia cantik, fadhia imut sudah berapa kali aku bilang jika aku ingin menjadi seorang pelukis dan aku benar-benar serius,”
“iya sih, tapi, sya-” kulihat ada keraguan di wajah sahabat cantikku ini. Kudorong pelan jidatnya membuat dia meringis dan menatap tajam ke arahku lagi.
“kegagalan bukan akhir dari segalanyakan, dhi? proses menjadi sesuatu yang berharga itu tak semudah menyiram wajahmu dengan jus jeruk kan, dhi? aku hanya ingin mencoba menjadi sesuatu yang lebih indah lagi, dhi,” kusandarkan kepalaku di atas bahunya yang lebih tinggi dariku.
“hmm. Try to be something if you’re nothing. Try to be somebody if you’re nobody. But don’t try to be someone else-“
“just be yourself, iya kan?” aku tersenyum manis seraya memeluk pinggangnya erat.
“ayo kita wujudkuan impianmu bersama-sama dengan kekuatan impian yang kamu punya!” serunya semangat membuat aku terkekeh geli mendengarnya.
“hmm. Juga dengan kekuatan persahabat kita!” lanjutku pelan yang disetujui olehnya.
“jangan buat kekuatan itu terkikis hanya karena kegagalan, sya,” bisiknya pelan, aku mengangguk.
“jangan buat kekuatan persahabatan kita terkikis dengan pengkhianatan, dhi,” decakan pelan terdengar saat aku menirukan gayanya barusan.
“yang paling penting jangan pernah menyerah dan putus asa!” kukecup pipinya singkat lalu berlari setelah menjulurkan lidah ke arah gadis bertubuh ramping itu. aku sangat tahu jika dia paling tak suka dikecup. Kalian dengarkan teriakannya yang menggelegar itu? teriakan khasnya, fadhia. Sahabatku tercinta yang kini tengah berlari mengejarku. Aku tertawa puas tanpa menghentikan langkah kaki ini. Fadhia, mari kita wujudkan impianku bersama-sama dengan kekuatan impianku juga kekuatan persahabatan kita setelah itu mari kita cari impianmu, ahya, alasan kenapa dia menjadi sahabat teranehku karena dia tak punya impian. Dan itu sangat aneh.
Kita hadapi semuanya bersama, dhi!

Impian Anak Pemulung

“pak ni minum dulu” aku menyodorkan minum untuk bapaknya yang sedang asik meremukan kaleng-kaleng bekas yang kami cari. Bapak menerima minuman yang ku sodorkan tanpa berkata-kata. Mungkin karena bapak sedang lelah jadi dia tidak terlalu meresponku pikirku dalam hati.
Inilah pekerjaanku dan ayahku untuk menyambung hidup kami. Terpaksa pekerjaan ini yang harus kami jalani setelah ayah diPHK dari perusaanya dan ditambah lagi harta kami habis untuk pengobatan ibuku yang sedang sakit keras. Dan imbasnya aku pun juga harus putus sekolah karena bapak tidak sanggup lagi membayar uang sekolahku. Namun aku tidak kecewa karena aku tahu pasti tuhan memiliki rencana yang indah dibalik kejatuhan kami dan cita-citaku juga tidak terlalu tinggi aku hanya ingin menjadi seorang pemain sepak bola.
Setelah lama beristirahat bapak mengajakku untuk melanjutkan mencari ujung tombak penyambung hidup kami. Tapi aku tidak merespon kareena perhatianku tertuju melihat anak-anak yang sedang asik bermain bola di lapangan yang ada di hadapan kami. Melihat aku yang termenung bapak pun memukul pundakku sambil bertanya padaku “kamu ingin bermain bola nak?, main saja sana biar bapak yang melanjutkan pekerjaan ini” kata bapak sambil merangkul pundakku. Aku sangat kegirangan bukan main karena aku di izinkan bapak “aku janji pak bakal pulang malam-malam” teriakku sambil berlari kelapangan untuk menghampiri orang-orang yang sedang bermain tersebut.
Sesampainya di tengah lapangan semua orang yang ada di sana terdiam sejenak melihat kehadiran ku dan mereka melihat dengan seksama dari ujung kaki sampai ujung kepalaku. Mungkin mereka heran melihat pakaianku yang compang-camping. Awalnya aku merasa takut melihat pandangan mereka kepadaku namun, aku beranikan diri untuk memperkenalkan diri dan meminta mereka untuk mengizinkan aku bergabung dengan mereka. Tapi ternayata yang ku pikirkan berbanding terbalik dengan yang kelihatan. Mereka sangat ramah terhadapku dan mereka pun menyalamiku sambil memperkenalkan diri mereka masing-masing. Namun tiba-tiba seorang anak menghampiriku “Eh gembel, mendingan lu pergi dari sini, orang kayak lo gak pantas gabung sama kita-kita” mendengar perkataan itu aku tertunduk leseh tapi untunglah temanku yang lain berpihak kepadaku dan salah satu dari mereka membisikan sesuatu Doni namanya “sudahlah, jangan masukan ke hati omongan rio dia memang agak sombong. mungkin karena dia baru-baru ini diterima masuk timnas. Kamu boleh kok gabung sama kita-kita” melihat perbincangan kami yang terlalu lama rio kembali membentaku dan dia memberiku tantanga jugling mengitari satu lapangan dan jika aku menang barulah aku boleh bergabung dengan mereka. Awalnya aku hanya terdiam namun melihat teman-temanku yang lain terus memotivasiku semangatku jadi meningkat kembali dan aku pun menerima tantangan Rio.
Saat pertandingan kami sedang berlangsung tiba-tiba Rio terjatuh meringis kesakitan mungkin karena permukaan lapangan yang tidak stabil membuat dia terjatuh. Aku dan teman-temanku pun berlari menghampiri rio. Aku yang bermaksud membantu dia namun rio malah membentak dan mendorongku “Eh gembel, jangan dekat-dekatin tangan lo sama gue ntar gue malah terkena bakteri-bakteri yang ada di tangan lo lagi” mendengar rio yang berkata seperti itu teman-temanya pun menjadi emosi namun aku berusaha meredakan amarah mereka dan meminta mereka menggotong Rio ke pinggir lapangan.
Setelah menggotong rio ke luar lapangan kami pun bermain bola setelah sekitar 1 jam lama bermain kami pun beristirahat. Saat beristirahat teman-teman baruku banyak yang menanyakan tentang kehidupanku dan juga memuji permainanku. Aku hanya bisa tersenyum merespon pujian mereka. Melihat teman-temanku yang terus memujiku tiba-tiba rio berteriak “udah lah, ngapain kalian muji anak gembel ini mendingan dia muji gue yang jelas sudah menjadi pemain timnas” dengan sombongnya.
Mendengar perkataan itu teman-temanya mengajakku untuk pulang meninggalka rio. Melihat teman-temanya meninggalkannya rio berteriak agar mereka kembali namun satu orang pun tidak menghiraukan teriakan dia. Dalam perjalana pulang kami saling bercanda gurau satu dengan yang lainya dan banyak membahas tentang kesombongan rio.
Setelah sampai di perempatan kami pun berpisah karena rumah mereka berlawanan arah dengan gubuk ku. Sebelum kami berpisah mereka menyalamiku dan meminta aku datang kembali esok hari. Aku menyaggupi permintaan mereka setelah sampai di rumah aku memberi salam pada kedua orangtuaku dan bergegas untuk mandi. menghampiri bapaku dan memberikan kopi yang ku buat bapakku pun menanyakan bagaimana respon mereka denganku. Aku menceritakan semua yang aku alami bersama mereka tadi termasuk rio yang membenciku.
Sedang asik berbicara aku melihat bapak serius melihatku setelah ku perhatikan dengan baik ternyata bapak melihat kakiku yang luka-luka karena memang aku tidak mempunyai sepatu untuk berrmain dan aku pun tadi bermain dengan kaki ayam. Ayah pun memelukku “maafkan bapak ya nak, bapak belum bisa membelikan sepatu bola untukmu. bapak memang ayah yang tidak bisa kamu andalkan…” melihat bapak yang berkata seperti itu aku langsung memotong pembicaraan bapak “tidak apa-apa pak, sepatu bola itu bukan menjadi kebutuhanku. Toh… tanpa sepatu bola aku masih bisa bermain. Yang terpenting sekarang hanyalah kesembuhan ibu” mendengar perkataan aku bapak kembali memelukku sambil mencium keningku.
Aku coba meminta izin agar aku diperbolehakan berlatih bola dan hanya membantu dia hanya setengah hari. ternyata bapak mengizinkan ku aku pun bersorak kegirangan sampai-sampai ibu terbangun dari tidurnya karena mendengar suara ku yang terlalu keras.
Keesokan paginya aku kembali membantu bapak mencari kaleng-kaleng bekas dan saat jam 2 aku berpamitan kepada bapak untuk bermain bola ke lapangan. Begitulah kegiatan rutinku selama sebulan ini.
Saat kami sedang beristirahat fahrid menegurku “besok kamu ikut kami pergi ya” “kemana” tanyaku kebinggungan. “kami telah mendaftarkan mu untuk seleksi timnas tahap 2 besok” jawabnya dengan lugas. Aku hanya temenung sepatu gak punya bagaimana bisa ikut seleksi fikirku dalam hati. Melihat aku yang termenung fahrid menyadarkanku dan bertanya yang sedang aku fikirkan. Aku pun menceritakan semua kendalaku kepada mereka tiba-tiba dengan serentak mereka menyodorkan sepatu mereka kehadapanku. ”Terima kasih kawan” kataku kepada mereka semua.
Setelah ku coba satu persatu sepatu mereka tidak ada satu pun sepatu mereka yang muat ke kakiku. Aku pun hanya bisa tertunduk lesu fahrid merangkul pundaku dan mencoba menghiiburku. “mungkin belum saatnya aku masuk dalam timnas kawan, terima kasih ya atas dukungan kalian” kataku dengan penuh ketegaran. “mau ada sepatu pun mana mungkin anak gembel ini bisa masuk timnas kayak gue” melihat perkataan rio yang seperti itu teman-temanya pun terbakar emosi dan kali ini aku tidak mampu meredam amarah mereka. ”Wei rio, jangan sombong lu, mulut lu bisa jadi senjata pembunuh lu ntar. kami yakin besok dia bakal bisa ikut seleksi walaupun tanpa sepatu” bentakan fahrid kepada rio. Mereka pun mengajak aku meninggalkan rio.
Saat di perjalanan pulang teman-temanku pun terus menyemangatiku dan memintaku tetap untuk datang menghadiri seleksi jam 9 pagi besok. Aku memaksakan untuk tersenyum untuk menghargai semangat yang mereka berikan padaku. Saat di persimpangan kami pun berpisah tapi kali ini aku tidak langsung pulang. Aku duduk di atas kursi batu yang ada di tepi jalan tersebut sambil merenung. ”Ya tuhan, apakan engkau memang tidak mengiziinkan ku untuk mengikuti seleksi tersebut, tapi mengapa tuhan…” sambil aku bersungut-sungut. Tiba-tiba perhatianku tertuju kepada rio dia tidak sadar bahwa ia telah berjalan terlalu ke tengah dan ada mobil di belakangnya.
Tanpa fikir panjang lagi aku langsung menghidupkan mesin kudaku dan berlari sekencang mungkin ke arah rio dan aku pun langsung mendorong dia dan tabrakan pun dapat dihindarkan. Melihat kejadian tersebu sontak rio langsung terkejut dan terdiam sejenak. Tiba-tiba rio memelukku dan meminta maaf atas semua perbuatannya kepadaku. ”Tidak apa rio sebelum lu minta maaf gue udah maafin lu kok”. Rio langsung menyodorkan sepatunya kepada ku aku pun sontak tidak percaya “serius ni rio, lu gak becanda kan?” tanyaku tidak percaya. “udah lu coba dulu, pasti muat buat lu tuh sepatu”. Aku pun langsung mencobanya dan ternyata benar sepatu itu muat di kakiku. Aku langsung bersorak kegirangan dan masih tidak percaya “lu harus janji ya sama gue, kita berdua harus masuk skuat utama dan membawa nama indonesia ke mata dunia”. Aku tersenyum kepadanya dan berlari meninggalkan rio untuk memberitahukan berita ini kepada orangtuaku.
Dengan nafas terengah-engah aku memberitahukan hal yang menggembirakan ini. “kenapa kamu nak, seperti habis dikejar anjing saja, tenangkan dirimu dan katakan apa yang terjadi” bapak terkejut melihatku. Aku mengambil minum dan membicarakan apa yang telah terjadi. “Ini kesempatan yang bagus untuk mewujudkan mimpimu. Berikan penampilan terbaikmu nak, jangan kecewakan orangtuamu apalagi teman-temanmu yang sangat mensupport kamu”. Aku berjanji pak jawabku dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali aku berpamitan kepada orangtuaku untuk pergi ke lapangan aku tidak membantu bapak karena seleksi dimulai jam 9 pagi. Setelah sampai di lapangan semua temanku heran karena aku memakai sepatu pemberian rio. Kami hanya bisa tersenyum melihat kebinggungan mereka. “sudahlah, mari kita pergi nanti terlambat lagi” potongku yang masih melihat kebinggungan mereka. Sesampainya di stadion GBK sebelum masuk untuk seleksi. kami berdoa bersama agar semuanya berjalan dengan baik.
2 hari kemudian kami kembali ke stadion untuk menghadiri penggumuman siapa saja yang akan masuk dalam skuat timnaas. Dan kali ini aku mengajak bapaku setelah lama menunggu akhirnya tibalah saat-saat yang mendebarkan penggumuman nama-nama pun dibacakan betapa girangnya kami ketika mendengar nama aku dan rio masuk dalam skuat timnas indonesia.
“ini baru awal, perjalanan masih panjang, ingatlah anak-anak saat kalian menjadi orang yang besar nanti jangan melupakan orang-orang yang telah mensupport kalian menjadi orang sebesar ini”. Bapak memberi nasehat kepada kami. Dan perjalanaku dalam timnas indonesia pun dimulai aku dan rio menjadi ujung tombak kemenangan indonesia. Dan pada akhirnya impian masyarakat indonesia untuk melihat garuda berlaga di piala dunia pun terwujudkan dan berkat pencapaian ini aku dan rio dikontrak salah satu tim besar di liga inggris.
Sekarang kehidupanku berubah 360 derajat. Gubukku sekarang sudah menjadi istana yang sangat megah aku juga bisa membiayai pengobatan ibuku hingga sembuh intinya kehidupaanku sekarang sudah lebih dari berkecukupan sampai sekarang pun aku menganggap ini masih seperti mimpi seorang anak pemulung bisa menjadi bintang dunia.

Oh My Kost

Waktu pertama gue jadi penghuni kos di kosannya om Ahong, gue lumayan seneng, biar tempatnya tidak terlalu luas dan besar, tapi tempatnya cukup nyaman dan 100 persen terhindar dari amukan nyamuk. Gue lihat kosnya cocok sama gue karena gue satu kos dengan mbak gue, jadi tempatnya pasti bisa bersih, rapi, aman, nyaman, tentram, sejahtera dan yang pasti ada yang masakin makanan hahaha… modus..
Gue sama mbak gue gak Cuma berdua, ada temen gue juga yang jadi tetangga sebelah gue, namanya Irvan. Kami sama-sama perantauan dari Sumatra selatan, satu universitas, satu jurusan, dan beda kelas. Di kosannya om Ahong ada tujuh tempat yang disediakan, mirip dengan rumah bedeng sih, gue sama mbak gue di kos nomor 4 dan si Irvan pas banget dapet nomor 5 karena kebetulan aja lagi kosong, yang laen udah pada penuh. Kos di tempat om Ahong itu selain tempatnya nyaman tentu yang dicari-cari adalah harganya yang murah, ya iyalah hari gini siapa yang mau bayar mahal uang kos.
“van, gimana kos nya oke ga?” tanya gue ke Irvan. “lumayan lah broo.. menurut gue sih cukup luas, yang penting kamar mandinya gak antri kayak wc umum lah” kata Irvan. Gue lihat sih tempatnya emang didesain sama semua, yah rapi lah fasilitas yang dikasih masih dalam kondisi fresh semua *fasilitas cuma kasur sama wc, itu juga gak ada bak mandinya… tapi overall semuanya masih baik.
“oke deh van, betahin aja tinggal disini kita cuma empat tahun kok tinggal disini”.
“iya lah broo.. kos ini mau gue jadiin istana gue sekarang, gak semua orang bisa masuk ke wilayah gue” *semangat 45 berapi-api..
Gue ngelanjutin petualangan gue menyusuri kosnya si Irvan. akhirnya gue sampai di kamar mandinya tempat dimana semua hasrat bisa dikeluarkan hahaha…
Gue lihat sih masih oke, tapi engsel pintunya hampir rusak. “van, lo mesti minta om Ahong ganti ni engsel pintu, bisa-bisa pas lo lagi ada meeting (buang air besar) pintunya lepas, bisa kena radiasi dari wc lo ntar”.
“woles sob, ntar ajalah itu juga masih bagus kok yang penting kan gue bisa memanjakan diri disana”. Irvan emang orangnya selalu anggap enteng sesuatu ntar kalau udah mempet aja baru panik deh “terserah deh. Broo.. liat sini ada sesuatu yang mencurigakan di wc lo” gue lihat sesuatu di wc Irvan. Si Irvan langsung nyamperin gue, wajahnya mulai agak panik mungkin dia pikir bekas meetingnya belum beres.
“wahh.. lobang apa ini bro?” ternyata ada keramik di wc nya si Irvan yang rusak dan membentuk sebuah lubang gelap. “Van, gue rasa ini lobang itu” kata gue dengan wajah yang super bubur serius “ahh.. bohong lo, itu kan lobang ini” jawab Irvan juga serius. Kami liatin tu lobang dengan seksama, dengan gaya mirip detektif gue sama Irvan pelototin tu lobang, kalo bisa sampe lobangnya nutup sendiri karena tatapan mata kami ,dan ternyata tidak terjadi sesuatu.
Untuk beberapa hari kita biarin tu lubang menganga dengan indahnya. “van siang ini lo makan apa?” tanya gue ke Irvan waktu pulang dari kampus, kebetulan kita pulang siang jadi gak sempat masak paginya.
“siang ini gue mau nyeduh aja, biar greget” dua bungkus mi beda rasa (mi goreng sama mi rebus) udah digenggaman kasarnya Irvan. “Vio, ntar sore kita ngePES yok!!”
“boleh dah, gue siap ngeladenin lo”.
Sekitar pukul lima sore gue sama Irvan main game bola di laptop gue, dan tentunya di kamar gue, sampai kira-kira pukul tujuh malam kita udah mulai bosan. “bro, gue laper mau nyeduh ah” Perut Irvan yang agak gendut emang udah keliatan kecil karena lapar, dia butuh asupan mie supaya tetap kenyang.
“Ouuww… mana mi gue?” terikan panjang si Irvan bikin listrik di kosan langsung padam seketika, setelah dia berhenti teriak baru nyala lagi, itu cukup bikin gue kaget, dan gue langsung nyamperin kamar kos Irvan “lo ngapain teriak?” tanya gue heran dengan tingkah Irvan yang sedikit menggila “mie gue hilang bro?” gue heran mana bisa mie jalan sendiri nolak untuk diseduh “hilang gimana, tadi lo taruh dimana mie nya?” wajah panik Irvan malah bikin gue sedikit ilfil “di dapur nih, tapi lo liat deh ada bekas mi masuk ke wc gue”. Bener sih ada bekas mi yang kayak abis diamuk masa masuk ke kamar mandinya Irvan yang gelap, mencekam, dan penuh dengan misteri yang ada di balik pintu kamar mandinya.
Gue sama Irvan nyiapin mental yang cukup gede buat masuk dan ngelihat apa yang terjadi disana, gue sama Irvan saling bertatap muka dengan wajah serius kami bertekad bulat untuk masuk dan memecahkan misteri hilangnya mie buat jatah makan Irvan.
“van, coba deh lo nyalain lampunya gelap nih” Saat Irvan nyalain lampu, terlihat jelas bahwa mie itu ada di wc si Irvan tepatnya di depan lubang yang tadi gue sama Irvan lihat. “Gimana bisa nyampe sini mie gue, gue rasa tuyul sekarang nyolongnya mi” Irvan sambil mungut bungkus mi yang isinya udah pada keluar. “bro lihat nih, mie gue ada yang makan nih” emang sih, kalau lihat dari bungkusnya, mie nya Irvan habis digigit sesuatu. “gue mau lihat isi lobang itu” Irvan jongkok dan melihat ke dalam lobang, dia bermaksud untuk masuk ke lubang itu tapi berhubung lubangnya kecil hidungnya Irvan yang penuh jerawat aja gak bisa masuk. Saat Irvan ngelihat lubang itu dengan serius dia mulai kelihatan penasaran, dia terus neglihat sampai dia sadar ada sepasang mata yang melihat ke arahnya dari dalam lubang, perlahan pemilik mata itu mendekati Irvan, tapi Irvan juga gak mau kalah dia terus melototin mata itu, perlahan tapi pasti sepasang mata itu semakin dekat dengan Irvan.
“van,ada apa sih?” tanya gue penasaran. Waktu gue mau lihat, tiba-tiba Irvan langsung teriak kenceng, yang otomatis buat jantung gue lari maraton. “broo.. gue takut” Muka Irvan yang serem sekarang malah jadi ketakutan gitu “emang ada apa sih?” gue makin penasaran aja. “Ada tikus, dan dia makan mie gue” Irvan mulai frustasi karena yang bantai jatah makannya ternyata tikus yang tinggal di dalam lubang di kamar mandinya Irvan. “gue mau pindah kamar nooo… Oh my kosssttt…” Irvan mulai teriak lagi, gue hanya bisa meratapi nasibnya, dan membiarkan jantung gue lari maraton lagi karena teriakannya.

Cerita Anak Kost

Sabtu, 18 Oktober 2014

Aku Pernah Bermimpi

Aku pernah bermimpi berdiri di belakang meja panjang —berisi deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, poci, dan bush kettle— dengan kedua tangan menari bersama mesin. Memandangi serbuk hitam itu sembari menghirup aroma sedapnya yang menempel di setiap dinding kafe. Aku pernah bermimpi menjadi seorang peramu kopi, sebut saja barista.
K-o-p-i. Sudah ribuan kali aku memikirkan sihir apa yang dimiliki serbuk hitam beraroma sedap itu —yang kerap kali membuatku tergila-gila. Satu kata yang membuatku kalap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat caffe latte, cappuccino, espresso, Russian coffee, irish coffee, macchiato, dan yang lainnya.
Membuka kedai kopi sendiri, aku sudah memikirkannya sejak lama. Namun beberapa pertimbangan kembali menyurutkan niatku. Salah satunya adalah karena restu orangtua —yang satu ini aku tidak mendapatkannya. Kedua orangtuaku beranggapan bahwa seorang wanita sangatlah tidak cocok menjadi barista. Aku benar-benar tidak setuju, memangnya apa masalahnya?
Tapi, kembali lagi, restu orangtua adalah restu Sang Khalik.
Katakan padaku, sekarang aku harus bagaimana?
Aku pernah bermimpi, sebelah tanganku memegang cangkir berisi foam dan tangan yang lainnya menggenggam lengan cangkir berisi kopi. Dan dengan kemampuan juga kelihaian tanganku, menciptakan latte art yang berbeda di setiap cangkirnya. Lihatlah, wahai Ayah, Ibu, seorang barista juga mengenal seni.
Tapi, Ayah, apabila aku ditanya kopi apa yang paling kusuka, maka aku akan langsung menjawab: “Aku menyukai kopi tubruk.”
Dan apabila Ayah menanyaiku ‘mengapa?’ maka akan kujawab sambil tersenyum membayangkan aroma kopi tubruk yang menimbulkan candu untukku: “Sederhana, lugu, tapi memikat. Terutama aromanya.”
Aku pernah membayangkan bagaimana Ayah akan datang ke kedai kopi milikku saat makan siang tiba. Kemudian Ayah akan memintaku untuk meramukan secangkir cappuccino dengan dark rosetta sebagai latte art-nya. Ayah akan menyukainya, bukan?
Dengan dua cangkir kopi yang masing-masing berisi cappuccino dan kopi tubruk, kita akan menyesap kopi bersama-sama, membicarakan tentang hal-hal yang akan menghangatkan suasana sampai sore tiba.
Tahukah Ayah, bahwa ketika kita saling bercerita kita akan semakin dekat? Berawal dari kopi, Ayah. Kopi juga bisa membuat hubungan kita menjadi lebih dekat.
Bukankah itu bagus, Ayah?
Aku pernah bermimpi, ketika Ibu berkumpul bersama teman lama lalu membicarakan tentang anaknya masing-masing. Ketika yang lainnya sibuk memuji anaknya, Ibu akan tersenyum karena mengingatku. Mengingatku yang tersenyum dibalik mesin kopi dan dengan kedua tangan membuat buih yang mengapung di atasnya.
Lalu aku akan berteriak lantang, “Ibu, kopinya sudah siap! Oh, ya, aku membuat bentuk baru hari ini, apakah Ibu ingin melihatnya?”
Kemudian teman-teman Ibu akan bertanya, apakah aku membuat Ibu bangga? Dengan mantap, Ibu akan menjawab, “Dia berbeda dengan caranya —bayangkan, dia adalah seorang barista. Dia mahir meracik kopi, dan aku amat bangga padanya.”
Tahukah Ibu, berbeda itu istimewa? Aku ingin menjadi berbeda dengan caraku, Ibu. Menjadi seorang barista juga bukan hal yang tabu, justru dengan itu aku bisa menjadi istimewa —karena aku berbeda.
Benar, kan, Bu?
Hari itu, aku bermimpi bertemu dengan seorang barista andal bernama Aiden. Dia yang menemukan terobosan baru, menjadikan salah satu kedai kopi di kotaku sebagai magnet baru. Aiden membuatku penasaran, dia benar-benar seperti magnet.
Malam berikutnya, aku bertekad untuk mengunjungi kedai kopi miliknya. Aku ingin berbincang lebih dalam dengannya, mengenai kopi —tentu saja. Sudah kuduga, aku akan kesulitan mencari waktu yang tepat karena Aiden sangat sibuk sepanjang hari.
Akhirnya kami sepakat, pukul sepuluh malam. Itu kali pertamanya aku minum kopi panas dengannya. Dengan Aiden, Si Barista Andal.
Saat aku datang, kafe sudah sepi. Hanya ada dua pelanggan yang masih duduk di kursi masing-masing. Salah seorang di antaranya tampak sedang mengobrol dengan Aiden. Yang kulihat di sini, Aiden adalah orang yang ramah. Aku bersyukur tentang satu hal itu.
Mendengar pertanyaan pelanggan itu, aku tersenyum. Pelanggan itu bertanya, “Apa ciri khas cappuccino?” Jawabannya mudah saja, penampilannya. Meski penampilannya cukup mirip dengan caffe latte, untuk cappuccino memang dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. Mengapa? Karena seorang penikmat cappuccino sejati, akan memerhatikan penampilannya. Apabila tidak terkonsep, bisa memengaruhi suasana hati penikmatnya. Itu opiniku.
Beberapa menit berikutnya, aku sudah duduk dengan kopi panas yang masih mengepul uapnya bersama Aiden. Mataku mengedarkan pandangan, lantai dan dinding kafe tersebut terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar. Di sepanjang dinding kafe ditempeli poster-poster kopi dengan bermacam pose. Puncaknya, sebuah plat besar yang menempel di dekat meja panjang barista, yang berisi tulisan model lama menggunakan Bahasa Belanda:
Adn Koffie
Keningku berkerut samar. Adn?
“Adn. Nama salah satu surga. Selamat datang di surgaku!” Seorang laki-laki berseru. Suara Aiden. Aku menoleh, lalu tersenyum ke arah Aiden. Alunan musik klasik yang menenangkan, dengan kombinasi aroma berbagai macam kopi yang memabukkan. Benar, tempat ini adalah surga bagi para penggila kopi, sepertiku.
Aku lalu bercerita kepadanya, tentang kecintaanku terhadap kopi. Aiden mendengarkanku dengan seksama, sekali-kali dia mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon. Kemudian aku sadar bahwa aku terlalu banyak bercerita ketika aku mulai megap-megap, seperti ikan yang mulai kehabisan napas. Ini gila, aku belum pernah se-antusias ini saat bercerita.
“Oh, ya, satu lagi. Aku benar-benar ingin menjadi seorang barista, Aiden. Ya, sepertimu,” Selanjutnya aku berhenti berbicara, tenggorokanku seperti terlilit sekarang.
Perhatianku teralih pada kopi panas di depanku. Kupejamkan mataku, membiarkan indra perasaku mengambil alih hal ini. Cuping hidungku mengembang, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang mengepul dari cangkirnya. Merasakan aroma khasnya mengontaminasi udara di sekitar hidungku. Ini espresso, aku hafal aromanya.
Aku kembali membuka mata ketika suara Aiden sampai di telingaku. “Kamu bisa menjadi barista, Lillit,” katanya penuh teka-teki. Keningku berlipat, tidak mengerti.
“Ikut aku.” Setelah mengatakan itu, Aiden berjalan meninggalkan kursinya menuju meja panjang di dekat plat besar. Tempat itu nyaris membuatku melompat saking gembiranya. Bayangkan, tempat keramat itu —Meja barista!
Aku memerhatikannya, kedua tangan Aiden yang menari bersama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.
Di tangan kirinya, tergenggam cangkir putih yang sepertiga dari isinya berisi kopi. Aku yakin sekali, Aiden akan membuat latte art, proses yang paling kusuka. Tapi ternyata dugaanku salah, Aiden menyerahkan cangkir itu kepadaku. Aku menatapnya tak mengerti, namun Aiden hanya mengangkat sebelah alisnya.
“Hari ini, aku menantangmu untuk membuat latte art,” katanya.
Mataku berpendar-pendar, seolah sebuah semangat baru telah disuntikkan ke dalam darahku. Aku menerima tantangan itu, setidaknya aku akan membuktikan pada Aiden, aku juga layak menjadi seorang barista.
Otakku kembali memutar kejadian beberapa menit yang lalu, ketika Aiden menonton aksiku membuat latte art. Awalnya aku kebingungan, berhadapan langsung dengan kopi dan foam membuatku sulit berpikir. Yang kupikirkan saat itu hanyalah, bagaimana aku bisa memberikan seni pada kopi yang masih polos itu.
Saat ini, di hadapanku terdapat karya latte art perdanaku. Latte art yang sederhana—berbentuk hati yang apik. Rasanya, aku ingin memuseumkan kopi itu sekarang juga.
Aku masih mengingat betul kata-kata Aiden yang rasanya patut untuk kugarisbawahi. Secara tidak langsung, Aiden telah memberiku semangat saat mengatakannya, “Kamu tahu? Ketika kamu sedang bernyanyi, maka kamu telah menjadi seorang penyanyi. Dan ketika kamu sedang meramu kopi dan membuat latte art di atasnya, kamu telah menjadi seorang barista.”
Kejadian ini seperti menarikku kembali ke realita. Membuatku sadar bahwa ini bukanlah ruang maya, karena semua ini nyata. Aku sedang tidak bermain imajinasi ketika aku berkenalan dengan Aiden, meramu kopi bersamanya, dan membuat latte art saat larut malam—semua ini nyata.
Dia Aiden, orang yang baru saja mengenalku dan percaya dengan mimpiku, mendukungku untuk terus meraih mimpi itu. Menjadi seorang barista, ini yang kuimpikan sejak dulu. Ayah, Ibu, Aiden telah membuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang barista sekalipun aku wanita. Kalau begitu, bukankah dia hebat, Ayah, Ibu? Bukankah Aiden hebat?

Kado Terakhir Untuk Ibu

Pagi itu begitu syahdu seiring dengan dendang burung berkicau di atas pohon. Semua orang di kota pagi itu memang terlihat sangat antusias berlalu lalang sekedar menyapa atau berjalan-jalan dengan kendaraan mereka masing-masing. jalan raya tampak sedikit basah karena guyuran hujan semalam yang seperti membabi buta. Itu akan sangat berbahaya bagi para pengendara mobil atau motor yang hendak berlalu lalang jika tidak berhati-hati. Beberapa murid sekolah tampak tertib menyeberang dari ujung jalan sembari diatur oleh petugas lalu lintas. Semua tampak semakin sibuk dan bergejolak ketika jam menunjukkan pukul setengah delapan kurang lima belas menit. Memang, pada jam-jam seperti itu, aktivitas memang tampak ramai dan bergelora karena sudah biasanya pada jam segitu para pelajar, mahasiswa maupun karyawan kantor bergegas untuk berangkat kerja. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi para penyedia layanan jasa angkot ataupun becak. Kedua jenis transportasi ini memang sangat digemari oleh masyarakat karena selain harganya yang murah, angkot dan becak ini sudah menjadi teman mereka sehari-hari. Yah, begitulah keadaan kota bandung diawal tahun seperti ini apalagi ini adalah awal tahun 2000 dimana sebagian besar orang menyebutnya dengan era millennium.
Halim duduk dengan manis di atas becak yang ditumpanginya bersama sang kakak. Disampingnya bersandar sebuah kursi roda yang sengaja dilipat agar mudah digunakan. Kira-kira, kurang lebih sepuluh menit lagi ia akan sampai di depan kampus tercintanya untuk menghadiri acara penganugerahan gelarnya sebagai seorang sarjana hukum. Hasil dari pengorbanan dan belajarnya selama tiga tahun silam. Dengan seragam toga wisuda yang serba hitam lengkap dengan topi khas wisudawan, ia nampak gagah dan tampan. Yah, meski seluruh tubuhnya kini harus bergantung pada kursi roda, setidaknya sang kakak bisa berpikiran seperti itu. memang, sejak tiga tahun lalu tepatnya ketika ia mulai menjejakkan kakinya di bangku perkuliahan, ia divonis menderita ataxia atau semacam penyakit yang membuat seluruh tubuh penderitanya lumpuh total. Meski sang dokter telah memperingatinya berkali-kali tentang kemungkinan terburuk yang akan diterimanya di kemudian hari, pemuda bernama lengkap HALIM PERSADA PUTRA itu tetap keukeuh ingin beraktivitas layaknya manusia normal. Vonis kematian yang telah lama melekat dalam tubuhnya itu tak sedikit pun membuatnya gentar. Ia tak peduli dengan penyakit terkutuk yang dideritanya itu, yang ia pedulikan hanyalah keinginan tulus dari sang ibu yang ingin melihat ia sebagai seorang sarjana.
Ibu, ketika mendengar nama itu disebut, hatinya kerap kali menangis mengingat kondisi prihatin sang ibu kini. Lima tahun lalu, ibunya mengalami depresi berat pasca kecelakaan tragis yang merenggut nyawa sang ayah. Ibunya tak terima akan hal itu dan kini harus dirawat dengan intensif di sebuah rumah sakit kejiwaan di kota itu. tak hanya itu, kesedihan dan juga kepedihan hatinya kian bergulir tatkala mendapati sang ibunda mengalami glaukoma akut pasca kejadian itu. kini, tinggallah ia dan kakaknya sebatang kara meniti hidup demi membebaskan sang ibu dari depresinya itu.
Becak kecil yang ditumpangi pemuda itu pun berhenti ketika di depannya terpampang dengan jelas gerbang masuk kampusnya itu. sekilas, dilihatnya di halaman parkir berjejer rapi puluhan sedan-sedan mewah yang didominasi oleh warna hitam. Dari dalamnya, dilihatnya teman-temannya tengah bergaya bergembira bersama keluarga masing-masing. ada yang sebagian dikenalnya namun tak begitu dekat.
Perlahan-lahan, bang madi, sang kakak menurunkan kursi rodanya dari becak itu. tak lupa sang supir becak itu juga membantu penumpangnya itu. lalu, dengan lembut, bang madi dan supir becak membantu menurunkan pemuda itu dari dalam dan mendudukkannya di atas kursi roda itu. keempat roda kecil kursi roda hitam itu terdengar menggernyit ketika tubuh pemuda itu duduk di atasnya.
“kamu sudah siap? kamu gugup?” Tanya bang madi begitu melihat sang adik sedikit pucat.
“tak apa-apa bang, abang tak usah khawatir…” jawab pemuda itu lembut.
“jika kamu merasa sakit, katakan saja!!!” ujar bang madi lagi sembari mendorong kursi roda itu ke dalam lokasi acara. Halim hanya tersenyum mendengar penuturan kakaknya itu dan fokus pada gelar yang akan diterimanya nanti.
Tiba-tiba langkah keduanya terhenti ketika mereka dihampiri oleh sekelompok wisudawan yang terlihat kurang senang dengan kehadiran kedua kakak beradik itu. penampilan mereka terlihat sangat necis dan terlalu berlebihan untuk dikatakan mereka berasal dari keluarga berkecukupan.
“eh, ada si gembel cacat disini… ngapain sih, minta-minta?” hina salah seorang dari mereka sambil tertawa penuh cemooh. Terlihat bang madi nampak menahan amarahnya mendengar hinaan itu.
“loe tahu nggak sih… dia nggak cacat, tapi penyakitan, udah mau mampus!!!” lanjut salah seorang lagi lebih kejam dari sebelumnya. Halim hanya diam menanggapi lontaran kata-kata kasar yang menerpanya itu sembari tak mengindahkan perkataan mereka. Merasa diacuhkan, sekelompok calon sarjana angkuh itu lantas semakin menjadi-jadi melontarkan hinaan mereka.
“loe tuh nggak pantas disini… pantasnya di kolong jembatan sama gembel-gembel lainnya!!!” ujar mereka lagi sembari semakin tertawa puas. Tak tahan mendengar hal itu, bang madi lantas mendorong kursi roda halim segera pergi meninggalkan para calon sarjana yang dianggapnya gila itu. di kejauhan, para calon sarjana sombong itu terlihat mengumpat dan meledeki kedua kakak beradik itu.
Meninggalkan ledekan dan hinaan yang diterimanya, halim dan kakaknya itu lantas bergegas masuk ke ruangan wisuda dan duduk di barisan paling depan. Dengan penuh kasih sayang, bang madi membantu adik semata wayangnya itu untuk duduk dengan nyaman di kursi yang tersedia. Di kiri kanannya, dilihatnya para calon sarjana lain tengah sibuk bercengkerama atau berfoto bahagia bersama keluarga mereka. Sementara di sisi lain, ia harus melihat sang adik merana sendirian tanpa ditemani kedua orangtuanya. Apalagi, ini merupakan saat-saat yang paling penting dalam hidupnya yang mungkin takkan pernah terulang lagi. Sungguh, suatu pemandangan yang membuat hatinya seolah tersentak dan menyadari akan penderitaan yang dialaminya bersama sang adik.
Dua puluh menit kemudian, acara pun dimulai. Acara dibuka oleh pembacaan kitab suci alqur’an dan terjemahannya. Semua larut dalam hening ketika sang pembaca membacakan lantunan indah ayat-ayat tuhan itu. tak terkecuali halim dan kakaknya, bang madi. Sepintas dilihatnya, sang kakak meneteskan airmata mendengar ayat-ayat suci itu terharu akan keindahan suara sang pembaca firman tuhan itu.
Tiba-tiba, sekucur darah segar nampak mengalir deras dari hidungnya yang kecil. Pemuda itu lantas segera mengambil selembar tissue yang ada di saku seragamnya itu dan mengelapkannya pelan-pelan ke hidungnya itu. sudah lama sejak terakhir kali ia mimisan, darah segar itu tak pernah muncul. Sejenak ia sadar, tubuhnya tidak akan bertahan lama lagi. Dengan tubuh lemah seperti itu, artinya ia harus segera mewujudkan keinginan sang ibu menjadi sarjana hukum sejati dan membuktikan pada dunia bahwa penyakit yang dideritanya takkan mampu mengalahkan semangatnya untuk tetap berprestasi. Oleh karena itu juga, pemuda itu memutuskan untuk menyembunyikan mimisan yang baru saja dialaminya dari sang kakak agar ia tak khawatir dan cemas akan kondisinya yang kian memburuk.
Satu per satu para wisudawan berjalan menaiki panggung untuk menerima piagam dan gelar yang mereka dapatkan masing-masing. terlihat wajah mereka nampak sumringah dan berbinar-binar ketika para professor mereka mengalungkan piagam kebesaran itu di leher mereka masing-masing. dengan bangga, mereka pamerkan piagam sarjana yang baru mereka dapatkan itu dan kembali duduk ke posisi masing-masing. melihat ekspresi wajah mereka itu, bang madi menjadi semakin tak sabar untuk melihat sang adik berada di atas panggung sana dan menerima gelarnya sebagai seorang sarjana. Pasti rasa bangga sangat membuncah dalam dadanya.
Akhirnya hal itu pun terwujud. Nama sang adik dipanggil dengan jelas dan lantang oleh panitia wisuda hari itu. dengan rasa bangga dan penuh haru, bang madi membantu sang adik bangkit dari kursi rodanya dan memapahnya hingga ke panggung. Rona kebahagiaan nampak memancar di mata keduanya yang sudah tak sabar lagi berada di atas panggung itu dan menerima gelar. Dan lebih mengejutkan lagi, nama halim ternyata termasuk ke dalam salah satu nama mahasiswa atau wisudawan yang memperoleh indeks prestasi tertinggi di kampus itu. rasa bangga itu semakin berlipat-lipat dihati bang madi melihat prestasi yang diperoleh sang adik.
Maka setelah menerima piagam, dengan tergopoh-gopoh, halim mencoba berdiri layaknya wisudawan lain untuk bersalaman dengan para professor yang telah membuatnya menjadi sarjana hukum itu. dengan linangan air mata haru penuh kebahagiaan, pemuda itu diminta memberikan sepatah kata untuk memberi motivasi bagi wisudawan lain. Dengan bangga, sang kakak membantu pemuda itu untuk berdiri dan berbicara.
“dengan mengucap bismillahhirrahmanirrahim… saya disini hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada tuhan yang maha esa karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya saya bisa berdiri disini dan berbicara meski dengan kondisi saya yang sedikit kurang baik untuk sama-sama memberi sedikit motivasi untuk teman-teman semua…
Teman-teman, dalam hidup ini, terkadang kita dihadapkan pada suatu keadaan yang tak kita inginkan… terkadang, kita merasa bahwa tuhan begitu tega terhadap kita tapi sesungguhnya begitulah cara tuhan menunjukkan kasih-Nya untuk kita… mungkin saya memang tak seberuntung teman-teman, tapi teman-teman harus tau bahwa saya punya kekuatan… kekuatan untuk terus tegar dalam menjalani hidup saya… dan untuk teman-teman ketahui, sumber kekuatan saya adalah ibu saya, ibu yang telah membuat saya hidup di dunia ini dan bisa menghirup udara segar meski hanya sesaat…
Umur saya memang sudah tak lama lagi, tapi cinta dan kasih saya terhadapnya akan terus abadi… ibulah motivasi saya yang paling berharga!!!” ujar pemuda itu menangis haru.
Melihat pemuda itu menangis dengan harunya, seluruh orang yang hadir di ruangan itu terdiam sejenak dan merenung. Tak terkecuali bang madi yang sedari tadi berdiri di samping sang adik. Sejurus kemudian, terdengar tepuk tangan riuh dari para wisudawan yang hadir menanggapi kata-kata pemuda itu. Sekilas, dilihatnya di antara kerumunan wisudawan yang hadir di ruangan itu duduk terharu sekelompok wisudawan yang tadi menghina mereka. Mereka nampak terenyuh dan terdiam bisu. Dengan penuh linangan airmata, bang madi tampak menguatkan sang adik dan semakin bangga akan sikap sang adik tercinta. Tak lama kemudian, keduanya pun lantas turun dengan rasa bangga dibantu beberapa orang dosen.
Belum lama duduk di kursinya, handphone bang madi berbunyi sedikit keras. Dilihatnya ponsel berwarna abu-abu itu dan mengangkatnya. Ternyata itu panggilan dari rumah sakit. Lama berbicara dengan pihak rumah sakit, nampaknya membuat raut wajah di wajah bang madi berubah drastis. Lantas dengan wajah pucat pasi, bang madi mengajak halim keluar dari ruangan itu menuju rumah sakit. Pemuda itu nampak bingung dengan sikap sang kakak.
Lima belas menit kemudian keduanya sampai di rumah sakit. Keadaan nampak panik karena beberapa orang dokter nampak bergegas menuju kamar rawat ibu mereka. Dengan penuh kecemasan, bang madi mendorong kursi roda halim segera menuju dokter yang berada di kamar sang ibunda. Di dalam kamar itu, nampak beberapa suster tengah berusaha menenangkan sang ibu yang terus saja mengamuk tak karuan. Segala yang ada didekatnya, dihancurkan dan dibanting tak bersisa. Keadaan benar-benar kacau dan berantakan. Melihat hal itu, kedua kakak beradik itu menangis dengan sendunya dan berusaha mendekati sang ibu.
“ibu… ini halim bu, ibu tenang ya… jangan marah lagi!!!” ujar halim begitu mendekati ibunya yang mulai tenang. Dengan lembut, diusapnya rambut sang ibu yang berantakan itu dan menatapnya dalam. sang ibu membalas tatapan itu dengan penuh nelangsa sembari mengelus-elus pelan pipi sang anak yang terlihat sangat pucat. Keduanya pun larut dalam keharuan yang membuncah. Bang madi juga ikut terhanyut dalam tangis kesedihan sang adik dan ibunya itu.
“kondisi kejiwaan ibu asih sudah sangat parah… butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya, ditambah lagi glaukomanya yang tak kunjung membaik!!!” papar dokter ketika melihat kondisi pasiennya itu.
“lalu kita harus bagaimana dokter?” Tanya bang madi lagi dengan sedih.
“untuk penyakit glaukomanya, kita butuh donor mata sesegera mungkin untuk mencegah hal-hal yang lebih fatal… yah, semoga saja keajaiban tuhan benar-benar terjadi untuk bu asih!!!” lanjut dokter lagi sembari pamit hendak memeriksa pasien lain. Halim yang mendengar pembicaraan sang kakak dengan dokter itu pun, tertegun sesaat dan menangis mengucurkan airmata. Sesaat kemudian, dilihatnya wajah sang ibu yang nampak menderita dengan kondisinya seperti itu.
Malam pun datang. Kedua kakak beradik itu sudah berada di rumah sejak sore tadi sepulang dari rumah sakit. Keduanya nampak lelah dan letih seharian tadi dan terkapar lesu di atas kursi tamu. Saking lelahnya, bahkan seragam wisuda yang tadi dipakai halim masih melekat di tubuhnya yang mulai rapuh itu. wajahnya tampak semakin pucat jelas menandakan bahwa ia berusaha menahan sakit yang dirasakannya.
“bang, aku ingin menulis sesuatu…” ujar halim kemudian seraya meraih kursi roda yang ada di sebelahnya. Segera, sang kakak membantunya untuk duduk di kursi roda itu. kemudian, tak lama ia bangkit mengambil secarik kertas di lemari dan kembali ke tempat sang adik.
Halim menerima kertas itu dan segera menulisinya dengan kalimat-kalimat panjang. Bang madi nampak heran melihat tingkah laku adiknya itu yang tak seperti biasanya.
“sebuah surat? untuk siapa?” Tanya bang madi sembari duduk di samping sang adik. Halim hanya tersenyum menjawab pertanyaan sang kakak dan kembali melanjutkan tulisannya.
“bang, tolong nanti abang kasih foto ini sama ibu ya… sama surat ini juga…” ujar pemuda itu lagi sembari merogoh saku seragam wisudanya itu dan mengeluarkan selembar foto ukuran kecil. Foto itu ternyata adalah foto dirinya ketika memakai seragam wisuda yang tadi sempat diambilnya di rumah sakit. Pemuda itu lantas menyodorkan kedua benda itu kepada sang kakak dan sang kakak menerimanya dengan sedikit keraguan.
“kenapa bukan kamu sendiri yang memberikannya?” Tanya bang madi lagi sembari menyimpan kedua benda itu kedalam tasnya yang tergantung di dinding.
“karena nafasku semakin sempit di dunia ini bang… ini adalah persembahan terakhirku untuk ibu, karena aku tahu ibu sangat ingin melihatku memakai seragam wisuda ini… aku sayang ibu bang!!!” jawab sang adik dengan mata berkaca-kaca. Mendengar hal itu, bang madi lantas spontan memeluk tubuh sang adik dengan erat. Wajahnya menangis meratapi ucapan sang adik yang terlihat sudah tak berdaya lagi itu. lantas keduanya pun menghabiskan malam itu dengan keharuan dan kesedihan.
Mendung nampak sedikit memayungi pagi itu. sinar mentari tak lagi secerah biasanya karena tertutup mendung hitam. Gerimis perlahan turun membasahi permukaan jalan yang tampak licin itu.
Perlahan, bang madi membuka matanya pelan-pelan. Dilihatnya ponselnya yang tergeletak di meja di samping tempat tidurnya itu. tertera di ponselnya itu beberapa missed call yang ternyata dari rumah sakit. Tak lama, sebuah pesan singkat datang dan masuk dalam inbox ponselnya itu. alangkah terkejutnya pemuda itu ketika mendapat pesan dari rumah sakit itu dan langsung menghambur dari kasurnya yang cukup nyaman itu. bagaimana tidak, pesan itu menyatakan bahwa sang ibu saat ini sedang kritis dan tak sadarkan diri karena semalam berusaha bunuh diri dengan sebilah gunting di tangannya. Tanpa ragu lagi, bang madi membangunkan halim yang masih terlelap tidur itu.
“ayo halim… kita harus ke rumah sakit, ibu kritis!!!” ujar bang madi panik sembari membereskan tempat tidurnya dengan tergesa-gesa. Halim yang masih berusaha membuka mata itu nampak sedikit berbeda dan aneh sekali. Mendadak sekujur tubuhnya nampak pucat sekali dan tak bisa bergerak dengan seragam wisuda yang masih melekat di tubuhnya. Bang madip un bingung melihat kondisi sang adik dan akhirnya memutuskan untuk menitipkan sang adik kepada mang ujang, tetangga sebelah kepercayaannya.
Di rumah sakit, bang madi nampak gelisah menunggu dokter keluar dari ruang operasi. Syukurlah di rumah sakit itu terdapat sebuah ruangan operasi yang berfungsi untuk menangani kejadian seperti ini. Lama sekali dokter keluar dari ruangan itu sementara detak jantung pemuda itu sudah tak karuan lagi. Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi dan ia segera menjawabnya. Panggilan itu ternyata dari mang ujang yang memberitahukan sesuatu telah terjadi pada halim. Pemuda itu nampak shock dan sangat terpukul atas hal itu hingga ia menangis sejadi-jadinya di rumah sakit itu. tak dipedulikannya seberapa banyak orang memandang aneh pada dirinya yang terlihat sangat tersiksa itu. tak berapa lama, sang dokter keluar dari ruangan itu dan menghampiri pemuda itu memberitahu bahwa kondisi sang ibu telah membaik. Pemuda itu sedikit terhibur akan keajaiban itu dan lantas ia menangis sedih bercampur haru.
Waktu pun terus bergulir sejak kejadian itu hingga tak terasa 10 tahun pun berlalu. Keadaan kota bandung masih sama seperti sepuluh tahun silam ketika bang madi masih bisa melihat kehadiran sang adik di dunia ini. Sungguh, peristiwa pagi itu tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Baginya, pagi itu adalah pagi tahun 2000 yang kelabu. Pagi di era millennium yang kelabu.
Bersama sang ibu yang kini telah dinyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit jiwa itu, bang madi mengunjungi tempat peristirahatan terakhir sang adik. Bu asih nampak begitu haru menahan tangisnya tatkala menatap nisan sang anak yang telah sepuluh tahun pergi meninggalkannya itu. dengan tertatih, diambilnya piagam wisuda terakhir yang ditinggalkan anaknya itu dan meletakkannya di sisi makamnya itu.
Tak lama, bang madi menyerahkan sebuah surat yang dulu sempat ditulis halim itu pada sang ibu dan menyuruhnya membacanya. Dengan penuh linangan airmata haru, bu asih membuka surat kecil itu dan membaca kata per kata yang ada dalam surat itu. di akhir surat, disadarinya tulisan tangan sang anak terlihat sudah goyah dan rapuh. Tampaknya halim sengaja memaksakan diri menulis surat itu untuk ibunya dengan segenap kekuatannya yang terakhir. Begini isi surat itu.
teruntuk ibuku tersayang…
Ibu, kau adalah segalanya untukku… tiada kasih sayang yang patut kusandingkan dengan kasih sayangmu selama ini padaku…
Ibu… aku tahu, kau adalah wanita yang tegar yang tak mudah lemah oleh keadaan apapun…
Namun, aku juga tahu bahwa sebenarnya hatimu itu menangis dengan sedihnya…
Ibu… aku menulis surat kecil ini sambil mengenang kebersamaan kita yang begitu indah…
Saking indahnya hingga aku tak bisa berkata apa-apa untuk menggambarkannya…
Hingga akhirnya nestapa itu kian datang bertubi-tubi dalam kehidupan kita…
Merusak dan menghancurkan kebahagiaan yang pernah tercipta…
Aku tahu bu, nafasku di dunia ini sudah tak akan sesegar dahulu lagi…
Aku tahu bu, betapa setiap detik kematian akan bisa menjemputku…
Oleh karena itu, kuputuskan untuk mendonorkan kedua mataku ini untuk dirimu bu, orang yang paling kusayangi sebagai kado terakhir untukmu…
Karena aku sadar bu, ibu harus tetap hidup dan tersenyum di dunia ini…
Biarlah, aku yang sudah rapuh ini melihat senyuman itu di syurga suatu saat nanti bu…
Karena dengan cara itu, aku bisa berbakti padamu…
Dengan kedua bola mataku yang kini ada di tubuhmu, aku bisa terus bersamamu…
Lantas bu asih pun mencium hangat nisan sang anak dengan penuh kasih sayang…

Karena Sering Begadang

Itulah sebabnya kenapa Tyo banyak dikenal oleh guru guru di sekolahnya, bukan karena prestasinya melainkan karena keburukan sifat Tyo yang selalu datang terlambat pergi ke sekolah, karena sering begadang nonton acara Televisi sampai pagi hari.
Jarum jam menunjukan pukul 07.00…
Tyo baru saja selesai mandi, dengan tergesa gesa Tyo menuju kamar untuk segera memakai seragam sekolah.
Otak Tyo mulai mengeras karena jarum jam yang terus berjalan. Padahal jam 07.20 harus sudah ada di sekolah, kalau telat bakalan ditutup gerbang sekolahnya, Artinya 20 menit lagi bel masuk sekolah dibunyikan. Padahal jarak rumah Tyo sampai ke sekolah 4 km dan butuh 15 menit untuk sampai ke sekolah.
Pukul 07.05 Tyo sudah siap untuk berangkat. Tanpa pikir panjang Tyo langsung mengambil sepeda kesayangannya sampai sampai Tyo lupa berpamitan dengan Emaknya.
“Tyo… tunggu dulu! ngapain kamu pakai seragam ini kan tanggal merah?!” Suara Emak menghentikan langkah Tyo
Tyo langsung berlari ke dalam rumah dan melihat kalender, “ooh.. Ternyata benar emang tanggal merah”
Tyo pun ngomong sama Emaknya dengan sedikit rasa malu “Iya Mak, sekarang tanggal merah”
“Mankannya jangan begadang aja! sampai-sampai sekarang gak tau kalau tanggal merah”
“Ah.. gak pa pa Mak, yang penting gak terlambat sekolah lagi dan gak kena hukuman” Bantah Tyo
“Tunjukan prestasimu jangan tunjukan mata lebammu itu, kapan kamu bisa mandiri?”
“Iya Mak Tyo ngerti”
Dan keesokan harinya, entah apa yang dipikirkan Tyo. Tyo lagi lagi bangun kesiangan.
“Aduuuh, Gaswat telat bangun lagi, Gara gara semalem nonton bola” sambil melihat ke arah jarum jam yang menunjukan pukul 06.50 itu. Tentu saja Tyo tergesa gesa lagi dan lansung ke kamar mandi. setelah selesai mandi Tyo memakai seragamnya dan tanpa sarapan, beranjak ke luar dari rumah untuk berangkat ke sekolahdan berpamitan pasa Emaknya yang sedang duduk di depan rumah.
“Mak… Tyo berangkat sekolah dulu”
“Jam berapa ini kok baru bangun?”
“Maaf Mak, Tyo telat bangun”
“Ya, Ampyuuun Tyo kamu telat bangun lagi? mulai besok gak ada Tv Tvan, Tvnya Mau emak jual!”
“Lho tapi Mak?”
“Gak usah tapi tapian, cepet berangkat nanti kamu tambah telat, ini uang jajan buat kamu”
“Iya deh, makasih Mak! Tyo berangkat dulu” Jawab Tyo
“Ya sudah, Hati hati di jalan! jangan ngebut”
“Iya” Ucap Tyo sambil mencium tangan Emaknya
Tyo segera mengayuh sepedanya dengan lincah, 1 menit, 3 menit, 7 menit telah dilaluinya. Di tengah perjalanan Tyo bingung kenapa Dia dilihat banyak orang dengan tertawaan kecil
“Ahh Biarin aja, mungkin karena kegantengan ini yang membuat mereka semua melihat Tyo” Keluh Tyo dalam hati.
Entah kenapa, sepeda Tyo rasanya berat sekali semakin Tyo kayuh semakin malah semakin berat saja. Dan Tyo terkejut karena tiba tiba ban sepedanya bocor. Tyo bingung bukan main keringat dingin mulai bercucuran. Tidak biasanya sepeda tyo seperti ini. Kali ini benar benar tidak bisa diajak kompromi. Sementara Tyo menuntun sepedanya jarum jam terus menunjukan pukul 07.15…
Jantung Tyo berdebar lebih cepat. Tyo mulai lemas karena usahanya berangkat ke sekolah akan telat lagi.
Tyo menengok ke kanan dan ke kiri berharap ada bengkel sepeda. pucuk dicinta ulam pun tak tiba, sepertinya hari ini Tyo akan terlambat sekolah lagi dan bakalan dihukum nyapu halaman sekolah. sama sekali gak ada bengkel.
Akhirnya, Tyo menitipkan sepedanya di warung pecel yang tidak jauh dari rumahnya.
Tyo mulai berjalan menuju sekolah. Tyo hanya bisa pasrah jika nanti harus dihukum dan ditegur oleh banyak guru.
oh. Tidak bisa!! Tyo benar benar tidak bisa membayangkannya
No.. No.. No
Pikiran Tyo mulai kacau tak karuan
“Aduuh, kenapa tidak ada satu pun teman yang lewat ya? kalu ada kan Tyo bakalan nebeng” Desah Tyo yang masih melangkahkan kakinya
Kali ini Tyo lebih memperceoat langkahnya. Setidaknya, Tyo tidak boleh telat lama lama. Semakin cepat, cepat, dan bertambah cepat. kira kira sudah 10 menit lamanya Tyo berjalan
Akhirnya Tyo sampai di gerbang sekolah, dihentikannya langkah Tyo dan sekolah itu dilihatnya. Ia sedikit heran, kenapa tidak ada satu pun orang yang lalu lalang di dalam sekolah nya
“Apa Tyo sedang berhalusinasi?! kenapa sekolah itu begitu sepi?” pikir Tyo dengan masih berdiri di depan gerbang, Tiba tiba Tyo dikejutkan oleh suara yang tidak asing lagi baginya, ternyata itu suara Pak Man si penjaga toko yang agak judes itu. “ada apa lihat lihat?” tanya si penjaga sekolah
“Pak, tolong bukain gerbangnya, Tyo telat lagi”
“Telat apanya?! ini kan hari minggu?!”
“Haa, Tyo kaget dan langsung melihat kalender yang ada di HandPhonenya, ternyata memang benar ini hari minggu” Keluh Tyo dalam hati
“Ooh… iya Pak ini hari minggu, maaf Tyo lupa, Permisi”
“iya,” jawab penjaga sekolah yang sedikit kesal itu
Huuh, Tyo bisa bernafas lega karena tidak jadi dihukum oleh guru guru tapi Tyo tetap merasa malu itu karena memang kesalahannya sendiri. lalu Tyo mengambil lagi sepeda yang dia titipkan di warung pecel dan dituntunnya karena masih bocor. Di dalam perjalanan Tyo pun sadar mungkin orang orang yang menertawakannya itu itu karena sekarang hari minggu kok pakai seragam sekolah bukan karena kegantengannya. “Tapi kenapa Emak tidak ngasih tau ya kalau ini hari minggu?” Gumam Tyo dalam hati
Sesampainya di rumah dengan sedikit kesal Tyo berbincang dengan emaknya
“Mak… kenapa gak bilang kalau ini hari minggu?”
“Emak emang sengaja Tyo, itulah sebabnya kenapa emak gak bolehin kamu sering begadang, kasihan kan otak kamu dia juga perlu istirahat, dan efeknya kamu sering lupa” Jawab Emak
“iya Mak, Tyo ngerti memang benar lagunya bang haji RHOMA IMARA, begadang jangan begadang kalau tiada artinya”
“RHOMA IRAMA! RHOMA IRAMA! tuh kan kamu lupa lagi?!”
“Enggak kok Mak, Tyo cuma bercanda hehehe ”
“oh, ya udah kan tadi pagi kamu belum sarapan, MAKAN DULU SANAH!”
“Ahh, si Emak juga korban Tv yaa!!”
“Sedikit, hahaha” Tyo dan emak tertawa bersama
Dan sejak saat itu Tyo tidak lagi begadang nonton Tv, karena Tvnya dijual sama Emaknya. Tyo nurut aja, mungkin itu memang jalan terbaik untuknya.
Keesokan harinya Tyo tidak lagi bangu kesiangan, tyo sekarang menjadi anak yang rajin meskipun kadang kadang nyuri waktu buat maen Layangan.
KETIKA TUHAN MEMBERIKAN SEBUAH KEBERUNTUNGAN, DISAAT ITULAH KITA DIHARUSKAN UNTUK MEMPERBAIKI DIRI!!
TAMAT